Pembangunan ekonomi dapat dianalogikan dengan seni meracik parfum. Top notes adalah capaian jangka pendek—cepat tercium namun segera memudar. Dalam ekonomi, ini tampak pada subsidi konsumsi, transfer tunai, atau lonjakan harga komoditas yang memang langsung meningkatkan daya beli dan pendapatan, tetapi cepat hilang begitu kebijakan dihentikan atau harga global turun.
Middle notes melambangkan hasil menengah yang memberi stabilitas lebih lama. Vietnam, misalnya, berhasil menjaga pertumbuhan lewat industrialisasi berbasis investasi asing; sementara pembangunan infrastruktur di Indonesia menciptakan konektivitas dan stimulus pertumbuhan. Namun, tanpa fondasi yang kuat, lapisan ini tetap rapuh.
Hanya base notes yang mampu memberi daya tahan jangka panjang. Fondasi itu berupa geographic endowment yang dikelola bijak, human capital yang terus ditingkatkan, dan institutions yang inklusif serta efektif. Singapura memperlihatkan hal ini: meski miskin sumber daya alam, investasi berkelanjutan pada pendidikan dan tata kelola institusional menjadikan ekonominya tahan uji lintas generasi.
Namun, membangun fondasi seringkali sulit karena manusia, terutama politisi, berpandangan myopic. Siklus elektoral mendorong mereka memilih kebijakan populis jangka pendek—subsidi, stimulus konsumsi, atau proyek spektakuler—demi keuntungan politik instan. Ibn Khaldun sudah mengingatkan dalam al-Muqaddimah:
“الظلم مؤذن بخراب العمران” al-ẓulmu mu’adhdhin bi-kharāb al-’umrān “Kezaliman (ketidakadilan dan salah kelola) adalah pertanda runtuhnya peradaban.”
Myopia politik inilah bentuk “kezaliman struktural”: mengorbankan fondasi jangka panjang demi popularitas sesaat.
Untuk menyeimbangkannya, diperlukan mekanisme kelembagaan yang memaksa orientasi jauh ke depan. Aturan fiskal menjaga disiplin anggaran agar tidak dikorbankan untuk siklus politik; sovereign wealth funds mengubah surplus sumber daya menjadi tabungan lintas generasi; lembaga fiskal independen memberi analisis netral atas kebijakan; dan investasi wajib pada human capital menjamin bahwa masa depan tidak dikorbankan untuk kepentingan jangka pendek. Dalam konteks ASEAN, Singapura memperlihatkan bagaimana birokrasi profesional yang relatif terlepas dari siklus elektoral mampu menjaga konsistensi kebijakan jangka panjang.
Dengan demikian, pembangunan yang berkelanjutan harus disusun dari bawah ke atas, seperti piramida parfum: dimulai dari fondasi struktural—resources, human capital, institutions—baru kemudian ditopang oleh lapisan pertumbuhan menengah dan hasil jangka pendek. Hanya dengan cara itu, pertumbuhan dapat menjadi bukan sekadar angka yang berkilau sesaat, melainkan aroma yang menetap lama, berakar kuat, dan meninggalkan jejak bagi generasi mendatang.
Images from Fulvio Ciccolo and openclipart