Tumpeng adalah sajak yang dimasak dengan api tradisi: kerucut nasinya menjulang bagai Mahameru, menandai hasrat manusia dan bangsa untuk mencapai puncak kemakmuran; lauk-pauknya berkelindan laksana syarat-syarat kehidupan, di mana keseimbangan lebih bernilai daripada kelimpahan yang timpang. Sebagaimana hidangan menjadi harmoni bukan karena satu rasa, demikian pula pembangunan menemukan maknanya dalam keselarasan pertumbuhan, keadilan, dan keberlanjutan—sebuah resep Utama sebagai denyut kemajuan.
Nasi Tumpeng—nasi kuning berbentuk kerucut yang dikelilingi lauk-pauk—bukan sekadar hidangan perayaan, melainkan simbol pembangunan. Puncaknya mencerminkan lintasan aspiratif bangsa menuju kemakmuran, sebagaimana Production Possibility Curve (PPC) menandai batas kemungkinan pertumbuhan. Dalam kosmologi Jawa, kerucut ini mengingatkan pada Gunung Mahameru: pembangunan bukan hanya material, tetapi juga spiritual dan moral.
Setiap lauk-pauk menggambarkan kondisi kausal; identitas tumpeng lahir dari konfigurasi utuh, bukan dari satu elemen. Begitu pula pembangunan: harmoni muncul dari susunan faktor—pertumbuhan, keadilan, keberlanjutan—bukan dari kekuatan terpisah. Negara yang terlalu bergantung pada sumber daya alam ibarat tumpeng dengan telur berlimpah: kaya, tetapi timpang dan rapuh, sebagaimana kutukan sumber daya atau Dutch Disease.
Images from Backpacker Jakarta and openclipart